APNIPER Gelar Konferensi Pers Terkait Hilirisasi Nickel

Jakarta - Indonesia dikaruniai dengan sumber daya nickel yang perannya akan semakin besar mengingat, negara kita tercatat sebagai negara dengan cadangan nickel terbesar di dunia, dimana jumlah cadangan nikel Indonesia mencapai 52% dari total cadangan nikel dunia. 

Untuk jenis bijih nickel kadar rendah di bawah 1,5% (limonite) perkiraan umur cadangan bisa mencapai sekitar 73 tahun. Sementara untuk bijih nickel kadar tinggi di atas 1,5% (saprolite), diperkirakan cadangan hanya cukup untuk sekitar 25 tahun kedepan atau bahkan kurang dari 20 tahun. Estimasi ini menggunakan asumsi kapasitas bijih untuk smelter dalam negeri yang diperkirakan mencapai 95,5 juta ton/tahun.

Untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya, Pemerintah Indonesia sekali lagi dengan tegas melarang ekspor melalui penerbitan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Presiden Ir. H. Joko Widodo sempat menyampaikan, penghentian ekspor nikel menjadi semangat memperbaiki tata kelola tambang di Tanah Air.

Sejak diberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel 1 Januari 2020, terjadi butterfly effect yang positif terhadap sirkulasi hilirisasi nikel. bertumbuhnya nilai tambah nasional yang meliputi Perkembangan Budaya, Penyerapan Tenaga Kerja, Pendapatan Pajak, Aspek Lingkungan dan Keberlangsungan investasi di Indonesia. 

Nilai tambah nasional yang semakin berkembang merupakan indikator keberhasilan pengelolaan dan pemanfaatan nikel. Ini menjadi momentum menghidupkan hilirisasi industri demi mendorong nilai tambah hilirisasi nikel guna memperkokoh kompetensi nasional.

Turunnya permintaan stainless steel global menjadi challenge baru ketika suplay lebih banyak dari pada demand-nya. Melimpahnya cadangan ore nickel tidak diikuti dengan penyerapan daya beli smelter pemurnian nickel. Mengingat banyak smelter di Indonesia menggunakan teknologi Rotary Kiln electric Furnacae (RKEF) untuk mengolah ore nikel kadar tinggi (soprolite). 

Penurunan permintaan stainless steel global mempengaruhi daya beli smelter terhadap ore nickel, yang dimana ber-efek juga kepada para penambang. Beberapa smelter memilih untuk menghentikan pembelian ore nickel demi menjaga stabilitas cashflow.

Jika boleh diuraikan permasalahan mendasar terdapat pada pertama, harga pokok produksi Nickel Pig Iron (NPI) sebagai salah satu kandungan di dalam stainless steel. Batu bara digunakan untuk memanaskan tungku pembakaran ore nickel. Ketersediaan batu bara nasional sangat krusial untuk menjaga sustainabilitas industri nickel tanah air. 

Pasalnya pasca penetapan (domestic market obligation) DMO 25%, ditetapkan harga jual batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum sebesar USD 70 (tujuh puluh dollar Amerika Serikat) per metrik ton Free On Board (FOB) Vessel, sementara untuk harga industri lainnya tidak mengalami "spesialisasi". 

Hal ini yg mempengaruhi harga pokok produksi Nickel Pig Iron (NPI) meningkat. Namun apabila terdapat penyetaraan harga antara untuk tenaga listrik dan industry pemurnian nickel (smelter), merupakan solusi untuk menekan harga pokok produksi.

Kementerian ESDM menekankan, ketentuan HMA dan HPM Mineral Logam dan Batubara ini harus dilaksanakan pihak-pihak terkait. Hal itu dikuatkan dengan dikeluarkannya Surat Pemberitahuan dari Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin Nomor: T-1780/MB.04/DJB.M/2022 tanggal 26 April 2022. 

Isi surat tentang Kewajiban Penggunaan Harga Patokan Mineral (HPM) Logam dalam Penjualan dan/atau Pembelian Komoditas Nikel. Lalu bagaimana jika HPM (harga patokan mineral) yang diturunkan untuk menjaga stablitas cashflow industri pemurnian nickel (smelter)? Tentu saja yang akan babak belur adalah para penambang karna ore yg dihasilkan penambang di beli murah oleh smelter. 

Mengingat semangat sustainabilitas adalah bagaimana menawarkan win win solution kepada semua pihak yang terlibat di lingkaran industri nikel tanah air.

Kedua, terkait Surat Edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 2.E/MB.04/MEM.B/2023 Tentang Kewajiban Pelaksanaan Transaksi Penjualan dan Pembelian Bijih Nikel Dalam Basis Free On Board (FOB) menetapkan bahwa sistem pelaksanaan harga patokan mineral (HPM) adalah berbasis Free On Board (FOB), yang dimana menentukan bahwa tanggung jawab dan risiko pengiriman barang ditanggung oleh penjual sampai barang tersebut diterima oleh kapal pengangkut di pelabuhan pengapalan. 

Namun, yang terjadi di lapangan bahwa surat edaran diatas belum dilaksanakan sepenuhnya. Terkait pelaksanaan Surat Edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 2.E/MB.04/MEM.B/2023 Pemerintah harus memastikan betul betul berjalan dilapangan agar terciptanya kepastian dan keadilan harga ore nickel.

Ketiga, shipping cost yang tinggi dalam proses distribusi ore nickel yang terjadi karena biaya sewa kapal tongkang yang naik pasca kenaikan harga minyak dunia pada bulan oktober 2021 lalu menjadi rata-rata ICP bulan Oktober 2022 mencapai US$89,10 per barel, naik sebesa US$3,03 per barel dari US$86,07 per barel pada bulan September 2022. Sementara pada pada Februari 2023 ditetapkan rata-rata ICP sebesar USD79,48 per barel. Artinya minyak dunia mengalami penurunan tetapi shipping cost tetap tidak mengalami penyesuaian. 

Hal ini harusnya menjadi concern para stakeholder dan pemerintah untuk mengatur melalui regulasi terkait biaya sewa kapal tongkang, guna menjaga sustainabilitas industri nikel tanah air.

Dengan didorong pertimbangan di atas, maka Asosiasi Pengusaha Nikel Perjuangan (APNIPER) for sustainability, APNIPER di tanah air hadir bersama-sama dengan asosiasi industri/profesi di sektor mineral lainnya untuk memperjuangkan kemajuan industri pertambangan dengan menitikberatkan aspek keberlanjutan. 

"APNIPER mendorong kekhawatiran terhadap keterbatasan cadangan nikel menjadi sebuah gerakan (movement) atau kepedulian bersama," kata Achyar Al Rasyid, Wasekjen APNIPER di Jakarta, Kamis (11/05). 

Nilai tambah nasional yang semakin berkembang merupakan indikator keberhasilan pengelolaan dan pemanfaat nikel. Namun apa yang diikhtiarkan oleh semua pihak belum cukup, selalu terdapat tantangan dalam proses perjalanannya. 

Oleh karena itu, menurut Achyar, dirasa perlu agar pemanfaatan dan pengolahan nikel dapat menjadi perhatian (concern), agar semua pihak dan pemangku kebijakan sinergis dalam hilirisasi nikel. 

"Menjadikan karunia ini menjadi national competency agar bangsa Indonesia berdaulat untuk menjadi bangsa yang besar, Indonesia adalah bangsa pemenang," pungkasnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama