Cegah Stigma dan Diskriminasi, Yayasan Pejuang Tangguh (PETA) Gelar Sosialisasi CBMF Lapor TBC

Cegah Stigma dan Diskriminasi, Yayasan Pejuang Tangguh (PETA) Gelar Sosialisasi CBMF Lapor TBC
Yayasan Pejuang Tangguh (PETA) menggelar sosialisasi laportbc.id. (Foto: Za/Suara Realitas)

JAKARTA - Problematika penanggulangan Tuberkulosis (TBC) di Indonesia sudah ada sejak dulu dan konsisten hingga sekarang.

Guna menindaklanjuti hal itu, Yayasan Pejuang Tangguh (PETA) melalui program GF-ATM SR Tematik melalui PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI pada BL.19b menggelar kegiatan Sosialisasi CBMF laportbc.id (kanal aduan untuk pasien TBC), yang berlokasi di Poli TB RO RSPI Sulianti Saroso, Jl. Sunter Permai Raya No.2 RW.012, Pangrango, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (17/07/2023).

Sosialisasi ini dilakukan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada pasien terkait pentingnya Community-Based Monitoring Feedback (CBMF) dalam penanggulangan tuberkulosis di Indonesia, meningkatkan pemahaman kepada pasien terkait stigma, diskriminasi dan gangguan psikologis, memberikan pengetahuan kepada pasien terkait alur pelaporan di laportbc.id, mengidentifikasi tantangan atau masalah yang dialami oleh pasien, dan sosialisasi CBMF adalah media umpan balik pengaduan untuk TBC di Indonesia.

Selain itu, meningkatkan pemahaman pasien terkait CBMF (melaporkan permasalahan yang mereka rasakan atau alami di laportbc.id), hingga meningkatnya penggunaan layanan CBMF (laportbc.id).

"Laportbc.id ini Alhamdulillah di RSPI sudah berjalan. Adanya laportbc dan pasien tbc yang mengalami stigma dan diskriminasi, akses layanan serta konsultasi. Disitu kita sudah bisa menjalankan pasien-pasien TB bahwa pengaduan ini akan bisa dirahasiakan dan tidak bisa disebarluaskan. Nah disitu pasien bisa mengerti dan memahami adanya paham apa itu laportbc," ujar Desi Kurniasih.

Desi Kurniasih mengatakan, bagi pasien TBC ini sangat berdampak sekali salah satunya dari pasien pihaknya, karena pasien nya terdampak pemutusan kontrak sepihak dari perusahaan. 

Kiri (Tasya Apriliana Rachman), tengah (Wahyu Hidayat), kanan (Desi Kurniasih)


"Dia (pasien) 2 kali diputus kontrak sepihak dari perusahaan, karena dia sakit TBC gitu. Aku nggak ngerti kenapa karena undang-undang itu udah jelas ya, maksudnya memberhentikan pasien dengan cast apapun gitu sakitnya. Saya selaku Paralegal juga sudah membantu dia dan saya memberikan upaya dengan membuat dokumen-dokumen yang dibutuhkan oleh perusahaan seperti contohnya surat keterangan sehat, Surat yang dibolehkan bekerja sampai kita sudah berkoordinasi dengan petugas kesehatan. Tapi memang perusahaan itu tidak memberikan kesempatan pasien saya ini," ungkapnya.

Lanjut Desi, kalau dia diagnosa sembuh untuk kambuh lagi sebenernya sih bisa ya karena dari penularan juga dan rentan. Dengan pola makannya itu harus dijaga memang kalau kita sudah terkena TB ini kita harus mawas diri sendiri, bisa jaga sikap dengan lingkungan hidup yang bersih dan Pastel TB ini kan menularkannya melalui udara. 

"Dari hasil sosialisasi ini, bisa mengajak teman-teman dampingan saya untuk saling diskusi sama-sama pasien (Penyintas TB), dimana dia bisa punya harapan kalau saya tuh bisa sembuh gitu dan dia pun bisa bekerja kembali serta saya hanya bisa membantu oranglain maupun diri sendiri saja," harapnya.

Kendati demikian, Paralegal Yayasan Pejuang Tangguh (PETA) Tasya Apriliana Rachman menambahkan bahwa lebih fokusnya membantu teman-teman yang mengalami stigma dan diskriminasi di masyarakat, lingkungan sekitar hingga pekerjaan.

"Kalo kendalanya mungkin banyak ya mas, yang sering kita temuin itu kebanyakan pasien mangkir, karena jumlah pasien mangkir itu punya hak atas tidak minum obat. Sebenernya itu bukan menjadi kendala, memang hak asasi itu kan dibawa sejak lahir dari masyarakat itu sendiri, kita terkendala karena memang pasien untuk eliminasi TBC yang 2030 itu bagaimana kita bisa mencapai kesana kalau memang angka mangkirnya malah makin banyak," ujar Tasya.

Dikarenakan belum mempunyai alat-alat bagi pasien yang mangkir, Tasya berharap agar pemerintah untuk test cast yang memang untuk pasien mangkir tersebut.

Sesi foto bersama


"Kita bersama-sama untuk menguatkan pasien mangkir ini, ya setidaknya nol lah. Memang jauh sekali dari harapan nol, cuman bagaimana terkait pasien mangkir ini gitu, karena mereka juga sangat merugikan dilingkungan sekitar," imbuhnya.

Kendati menurut Wahyu Hidayat, salah seorang peserta sosialisasi yang juga Pasien TB RO Cilincing, bahwa materinya sangat membantu sekali untuk perihal pekerjaan, atau yang rumah tangga itu sudah sangat menjawab.

"Untuk saya kan jangka panjang yang 20 bulan, sekarang udah jalan 7 bulan dan untuk pengambilan obat itu sendiri nggak ada kendala selama berobat, orang-orangnya juga pada baik-baik semua," ucap Wahyu.

Dikarenakan dirinya terkait masalah perkerjaan, jadi Wahyu berharap agar lebih dibantu soal masalah pekerjaan. "Saya udah lumayan 2 kali karena sakit ini (TBC) untuk pekerjaan dipersulit gitu," ucap dia sambil berkaca-kaca.

Perlu diketahui, berdasarkan data yang dihimpun sementara untuk tahun 2023 angka pasien di diagnosa berkisar 118.438 kasus, dari angka estimasi kasus di Indonesia mencapai 900 ribu kasus TBC.*(Za)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama