Jakarta, (27/10) - Dalam mengingat momen bersejarah Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, kita kembali merenung tentang nilai-nilai persatuan dan kemerdekaan yang dijunjung tinggi oleh para pemuda Indonesia saat itu. Namun, di tahun 2023, menjelang peringatan 100 tahun Sumpah Pemuda, generasi muda Indonesia dihadapkan pada tantangan baru yang tak kalah penting, yaitu perlindungan dari dampak negatif rokok.
Kepala Pusat Studi CHED ITB-AD, Roosita Meilani Dewi, menekankan urgensi perlindungan generasi muda dari bahaya merokok. Meskipun Sumpah Pemuda selalu dikenang, generasi muda saat ini dihadapkan pada ancaman dalam bentuk konsumsi rokok yang tinggi.
Ia menjelaskan “bahwa kenaikan harga rokok dapat menjadi langkah efektif dalam mengurangi jumlah perokok dan mencegah generasi muda terjebak dalam kebiasaan merokok yang berbahaya. Data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa di Indonesia dari 2011 hingga 2021. Tidak hanya itu, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun juga mengalami peningkatan dari tahun 2013 hingga 2018.”
Indonesia saat ini memiliki harga rokok yang tergolong rendah, dan ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya cukai rokok dan kompleksitas struktur tarif cukai. Dampaknya adalah tingkat konsumsi rokok yang tertinggi di dunia. Kenaikan harga rokok dapat mengurangi konsumsi, mendorong perokok untuk berhenti merokok, serta mengurangi inisiatif untuk memulai kebiasaan merokok di kalangan anak muda.
Penting untuk mencatat bahwa rokok telah terbukti sebagai penyebab utama dari berbagai penyakit mematikan seperti kanker, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan. Harga rokok yang lebih tinggi dapat mengurangi insentif bagi generasi muda untuk mulai merokok, sehingga membantu melindungi mereka dari risiko kesehatan yang serius di masa depan. Sebagai bagian dari upaya bersama, Kepala Pusat Studi CHED ITB-AD, Roosita Meilani Dewi, juga mengajak pemerintah dan regulator untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang mendukung kenaikan harga rokok dengan bijak dan adil, sambil mempertimbangkan implikasi sosial dan ekonomi yang terkait.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) bekerjasama dengan Center for Disease Control and Prevention Foundation, USA, mengungkap fakta mengejutkan. Pasalnya, perilaku merokok anak sekolah tingkat SMP SMA mengalami peningkatan yang sangat drastis. Prevalensi perokok anak usia 10-14 tahun diketahui terus meningkat hingga 16 kali lipat (Fakta Tembakau Indonesia 2020). Empat dari tujuh pemicu anak merokok berkaitan dengan iklan. Baik iklan di TV, di luar ruangan, maupun di media sosial.
Melalui momentum Sumpah Pemuda, mari bersama-sama menyuarakan perlindungan generasi muda sebagai prioritas. Kenaikan harga rokok dapat menjadi langkah efektif dalam mengurangi jumlah perokok dan mencegah generasi muda terjebak dalam kebiasaan merokok yang berbahaya. Perlindungan anak adalah amanat negara, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 guna menyelenggarakan perlindungan anak secara khusus. Pada tahun 2020, Indeks Perlindungan Anak mengalami peningkatan menjadi sebesar 66,89 dibandingkan tahun 2018 yang hanya sebesar 62,72.
Dalam rangka mempertahankan tren positif tersebut, kenaikan harga rokok adalah langkah penting dalam melindungi generasi muda dari bahaya merokok. Bukti empiris secara global menunjukkan bahwa hal ini dapat mengurangi konsumsi, mendorong perokok untuk berhenti, dan mengurangi inisiatif untuk memulai merokok di kalangan anak muda. Penelitian terbaru di Indonesia juga menegaskan bahwa kenaikan harga rokok akibat kenaikan cukai dapat secara dramatis mengurangi minat untuk merokok, bahkan mungkin mendorong hingga sepertiga dari perokok untuk berhenti.
Meskipun tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) di Indonesia naik setiap tahun, dampaknya terhadap penurunan prevalensi perokok anak belum signifikan. Dengan target menurunkan prevalensi perokok anak dalam RPJMN 2020-2024, dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen, kami menyoroti perlunya upaya yang lebih ambisius. Rokok adalah penyebab utama penyakit mematikan. Harga rokok yang lebih tinggi dapat membantu melindungi generasi muda dari risiko kesehatan yang serius di masa depan.
Para pembicara dalam konferensi pers ini memiliki pandangan yang serupa dalam mendukung pengendalian tembakau. Santi Martini dari RGTC FKM UNAIR menekankan pentingnya menaikkan harga rokok dan menerapkan regulasi untuk membatasi akses anak-anak terhadap produk tersebut. Tubagus Haryo dari FAKTA menyoroti bahwa harga bukan satu-satunya pendekatan, dan bahwa remaja dapat tetap menjadi bagian dari kelompok sosial tanpa mengonsumsi rokok.
Affan Fitrahman dari TC IPM menyatakan “Bahwa konsumsi rokok bukanlah bagian dari budaya Indonesia, dan mendukung pengendalian tembakau sebagai perwakilan pelajar Muhammadiyah.”
Muhammad Alief dari Forum Anak Nasional menegaskan pentingnya menjauhkan anak-anak dari segala hal yang terkait dengan rokok, termasuk iklan dan peredarannya.
Dalam kesempatan yang sama, Alya Eka Khairunnisa menekankan “ Bahwa kampanye bahaya rokok harus disampaikan tidak hanya kepada akademisi dan aktivis, tetapi juga kepada lingkungan dan keluarga secara lebih luas. Semua pembicara sepakat bahwa pengendalian tembakau adalah langkah penting dalam menjaga kesehatan masyarakat.”
Kegiatan ini diselenggarakan oleh CHED atas kolaborasi bersama TC IPM, LPAI, FKM UNAIR, NOTC, Masyarakat Sipil Pengendalian Tembakau, RAYA Indonesia, TCSC IAKMI, Smoke Free Jakarta, ASPEKSINDO, LDUI, MTCC UNIMMA, Pro TC, FAKTA.
Posting Komentar