Kasus Eksploitasi Seksual Terhadap Anak Melalui Internet di Indonesia Meningkat Pada 2023


Jakarta - ECPAT Indonesia merupakan perwakilan resmi organisasi ECPAT Internasional, sebuah jaringan global yang bekerja untuk menentang eksploitasi seksual anak. ECPAT Indonesia berjejaring dan bekerjasama dengan 18 organisasi dan lima individu di 11 provinsi di Indonesia.

Selama lebih dari 20 tahun berdiri, ECPAT Indonesia telah mendukung upaya penghapusan situasi eksploitasi seksual anak dan setiap tahunnya ECPAT Indonesia mengeluarkan catatan akhir tahun terkait kerja-kerja program dan advokasi. Pada tahun ini kami mengangkat tema "Keberlanjutan Dalam Menghapus Eksploitasi Seksual Anak di Indonesia karena makin banyaknya kasus dan berkembangnya modus baru dalam kejahatan eksploitasi seksual.

Koordinator Advokasi dan Layanan Hukum ECPAT Indonesia, Rio Hendra Mengatakan Dalam kurun waktu tiga tahun yaitu sejak tahun 2021-2023, ECPAT Indonesia berhasil memotret situasi kasus-kasus eksploitasi seksual anak yang membutuhkan respon khusus, cepat dan sistematis. Di Tahun 2023, menemukan adanya kasus anak usia 7 tahun melakukan perekaman, adegan pornografi anak yang diperankan oleh dirinya, dan kemudian disebarkan. Sementara itu di tahun 2022 menemukan adanya bayi berusia 18 bulan menjadi korban kekerasan seksual oleh pelaku yang berumur 41 tahun di Jeneponto, masih ditahun yang sama, mendampingi kasus eksploitasi seksual anak online untuk tujuan prostitusi yang dilakukan oleh anak salah satu anggota DPRD di Bekasi. Kasus yang sama yaitu anak usia 7 tahun melakukan perekaman dan menyebarluaskan pornografi anak terjadi di tahun 2021.

“Dari hasil penelitian, asesmen dan survei yang dilakukan ECPAT Indonesia di tahun 2020-2022 dan 2023 menemukan adanya peningkatan kasus eksploitasi seksual anak , hasil asesmen yang dilakukan bekerjasama dengan Bandungwangi tahun 2021 menemukan adanya peningkatan penawaran eksploitasi seksual anak dalam prostitusi secara online di masa pandemi. Sementara itu penelitian bersama Aliansi Down to Zero di tahun 2020 menemukan 3 dari 10 responden anak mengalami kejahatan dalam bentuk eksploitasi seksual anak di ranah daring”. Kata Rio dalam catatan akhir tahun Ecpat 2023, melalui zoom meeting, Jumat (29/12/2023). 

Pada tahun 2023 ini menurut data yang di keluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga angustus 2023, ada 2335 kasus kekerasan anak di Indonesia dengan jumlah kekerasan seksual anak sebanyak 487 kasus. Berdasarkan data dari Simfoni PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sampai Desember 2023, ada 12.391 kasus kekerasan seksual, 351 kasus eksploitasi dan 401 kasus Trafficking dengan jumlah korban anaknya yang mencapai 19.017. Dengan banyaknya kasus kekerasan dan eksploitasi anak yang terjadi pada anak maka diperlukan adanya komitmen penyelesaian kasus-kasus kekerasan dan eksploitasi seksual anak di Indonesia. Selain itu implementasi dari kebijakan hukum yang telah ada juga perlu mendapatkan perhatian lebih, agar korban mendapatkan jaminan kepastian hukum dari kasus-kasus yang menimpa mereka dan dapat memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban.

Maraknya Penggunaan Sistem Pembayaran Elektronik dalam Kejahatan ESA

ECPAT Indonesia melihat, eksploitasi seksual anak terjadi lintas batas geografis, antar negara, antar pulau, antar daerah provinsi/kabupaten/kota sehingga dalam melancarkan aksinya pelaku membutuhkan sistem pembayaran untuk melakukan transaksi seperti transfer antar bank, electronic money, kripto dll. Sehingga ECPAT Indonesia sejak tahun 2016 berupaya membangun kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan melakukan kerjasama pendidikan dan pelatihan untuk mempertajam analisis keuangan pembayaran transaksi eksploitasi seksual anak seperti perdagangan anak untuk tujuan seksual, pornografi anak, prostitusi anak dll. Tahun 2022 PPATK merelease temuannya yaitu adanya transaksi sebesar Rp 114 M terkait pornografi anak.

Di tahun 2023 ECPAT Indonesia melakukan asesmen lanjutan bekerjasama dengan Bandungwangi, yang menemukan adanya 19 aplikasi yang sering dimanfaatkan untuk menawarkan jasa prostitusi perempuan dan anak perempuan dengan memilih menggunakan financial technologi sebagai alat pembayaran, seperti transfer bank, transfer pulsa, tukar gift/ followers di Bigo Live melalui ATM, transfer melalui Western Union dan transfer melalui EWallet. Berdasarkan hal itu ECPAT Indonesia memperluas jangkauan wilayah advokasi menjadi lintas sektoral (multipihak) tidak hanya dengan PPPATK namun juga dengan KemenPPPA serta perusahaan teknologi keuangan (financial technology).

Tahun 2023 ini, sebagian besar perusahaan financial technology dan aplikasi perbankan sudah merasa bahwa kebijakan SOP di internal untuk melakukan background check atau monitoring dan pencegahan transaksi keuangan kasus eksploitasi seksual anak menjadi penting, berdasarkan survei pada 179 responden menunjukkan 64,52 % menyatakan setuju adanya SOP, namun pemerintah harus mengeluarkan regulasi dan melakukan pengawasan terkait dengan pelaksanaan SOP tersebut.

Kerentanan anak dari paparan pornografi di Internet.

Temuan menarik lainnya dari riset yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia, di tahun 2023, yaitu melalui monitoring dan evaluasi program pembentukan Desa ramah Anak terbebas dari pornografi kerjasama dengan KemenPPPA menemukan, bahwa teknologi digital (internet) telah mendekatkan anak-anak pada kerentanan terpapar pornografi, dan adanya gap pengetahuan atau skill orang tua dengan anak dalam menggunakan teknologi internet menyebabkan lemahnya kontrol dan pendampingan orang tua kepada anak ketika berselancar di dunia maya, sehingga anak-anak rentan mendapatkan informasi negatif yang berpengaruh membentuk perilaku anak menjadi pelaku yang membuat, merekam, menyebarkan, dan menjual konten pornografi.

Dalam Baseline Survey Baseline Survey OCSEA (Online Child Sexual Exploitation and Abuse) kerjasama antara ECPAT Indonesia, Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia serta UNICEF 2023 yang melibatkan 512 responden anak menunjukkan bahwa ranah dalam jaringan (daring) atau online menjadi arena bermain anak karena hampir keseluruhan atau 99,4 % anak-anak menggunakan internet dengan menghabiskan waktu sekitar 5 jam sehari di rumah, sedangkan sebagian lainnya mengakses internet di sekolah. Alasan anak-anak menikmati online diantaranya karena dunia daring/online memberikan kebahagiaan dengan adanya hiburan/permainan, tersedianya akses ke informasi serta dapat berkomunikasi dengan teman.

Dengan tingginya intensitas anak-anak bermain internet di keseharian mereka, maka akan meningkatkan juga kerentanan mereka terpapar pornografi yang ada di Internet. Dari hasil survei OCSEA ditemukan bahwa hanya sekitar 37,5 % anak yang mengetahui cara berintenet aman dan ada 69 % anak yang tidak membatasi waktu ketika bermain Internet serta memiliki pengalaman menonton pornografi dan konten-konten yang tidak pantas yang mereka lihat di Internet. Hal ini menjadi hal yang miris karena tingkat paparannya yang cukup tinggi bahkan ada 2 anak yang mengaku mengalami kerentanan secara langsung terkait dengan paparan pornografi.

Peningkatan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik terhadap anak

Dari hasil laporan yang masuk ke ECPAT Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 16 kasus dari yang sebelumnya 29 kasus di tahun 2022, dari jumlah kasus memang mengalami penurunan laporan, namun dari segi kasus kekerasan seksual berbasis elektronik kasusnya cukup meningkat. Kasuskasus kekerasan seksual berbasis elektronik cukup mendominasi kasus kejahatan seksual pada anak di Indonesia saat ini, dengan semakin berkembangnya teknologi digital belakangan ini modus-modus kejahatannya semakin beragam. Mulai dari Grooming untuk tujuan seksual,Sexting, Sextortion dan Live Streaming kekerasan seksual.

Peningkatan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik ini juga terjadi karena rendah pengetahuan literasi digital masyarakat Indonesia saat ini, jadi banyak yang menjadi korban terutama anak-anak. Banyak lembagalembaga yang mendampingi korban menerima pengaduan terkait kasuskasus kekerasan seksual berbasis elektronik ini dan cukup kewalahan dalam mendampinginya karena kekurangan staf pendamping. Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan di ranah siber yang terjadi perempuan mengalami peningkatan yang besar dengan jumlah 869 kasus, yang dimana bukan hanya perempuan dewasa saja yang menjadi korban namun anak perempuan pun yang menjadi korbannya. Untuk kekerasan seksual berbasis elektronik ini korbannya bukan hanya anak perempuan saja, namun korban anak laki-laki pun meningkat.

Perlunya ditingkatkan perspektif terhadap korban eksploitasi seksual anak terhadap aparat penegak hukum dan lembaga penyedia layanan bagi korban ESA.

Sorotan lainnya atas situasi eksploitasi seksual anak yaitu masih adanya praktik diskriminasi terhadap anak korban eksploitasi seksual yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan juga Lembaga Pemberi Layanan. Diskriminasi ini tergambar jelas pada sikap pembedaan antara penanganan kasus anak korban kekerasan seksual dengan anak korban eksploitasi seksual, dimana terdapat pelabelan negatif pada anak korban eksploitasi seksual dianggap anak nakal (mau sama mau) karena pakaiannya divisualisasikan seperti orang dewasa yang sexy, terbuka, dengan dandanan atau make up yang menggoda lawan jenis. Sedangkan pada kasus anak korban kekerasan seksual lebih mendapatkan empati, karena kekerasan yang dialami dianggap sebagai serangan, paksaan dengan ancaman dan kekerasan. Temuan ini melatarbelakangi program-program peningkatan kapasitas perspektif hak anak dan skill dalam melakukan pendampingan dan penanganan kasus eksploitasi seksual anak agar berbasis pada kebutuhan korban.

Hal ini perlu terus menerus dilakukan ditengah meningkatkan kasuskasus eksploitasi seksual anak, terutama kasus ESA di ranah daring yang sekarang banyak terjadi di Indonesia, yang dimana banyak pihak yang menganggap bahwa korbannya sendirilah yang setuju mengirimkan kontenkonten pribadi kepada pelakunya. Namun dalam konsep perlindungan anak, tentunya hal tersebut tidak mengugurkan bahwa anak tersebut adalah korban dari ketidaktahuannya atas yang mereka perbuat, hal inilah yang perlu diperkuat kepada aparat penegak hukum dan lembaga penyedia layanan bagi korban yang ada di Indonesia, agar pemenuhan hak-hak anak sebagai korban dapat terpenuhi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama